Oleh: Siti Halimatus Sa'diyah,M.Pd.I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bani Umayyah adalah kekhalifahan Islam pertama
setelah masa Khulafa ar-Rasyidin yang memerintah dari 661-M sampai 750-M di Jazirah Arab dan
sekitarnya, serta dari 756-M sampai 1031-M di Cordova, Spanyol. Nama
dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek
buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan
Mu’awiyah.[1]
Bani Umayyah memiliki keinginan yang
kuat untuk menjadi penguasa yang sudah terpendam sejak dulu. Ambisi ini ada
karena Bani Umayyah menganggap keturunan mereka berasal dari golongan
bangsawan, terhormat dan mempunyai kekayaan yang melimpah.[2]
Namun, kenyataannya Bani Umayyah tidak berhasil, karena Bani Umayyah tidak
memperoleh popularitas di lingkungan penduduk Arab, tidak seperti layaknya Bani
Hasyim yang berhasil memperoleh popularitas di lingkungan penduduk Arab.
Sebagai akibat ambisi yang tidak kesampaian, maka terjadilah persaingan antara
Umayyah dengan pamannya Hasyim bin Abd al-Manaf. Kondisi ini justru semakin
menyudutkan citra Umayyah di mata masyarakat Arab.
Walau demikian, akhirnya, ambisi
untuk menjadi penguasa dari keturunan Bani Umayyah ini tercapai juga oleh
keturunan Bani Umayyah yang bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Bani Umayyah
berkuasa setelah kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka dalam tulisan makalah ini
akan membahas:
1. Masa
kelahiran Dinasti Umayyah
2. Masa
Keemasan Dinasti Umayyah
3. Masa
Kemunduran Dinasti Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Masa
Kelahiran Dinasti Umayyah
Mu’awiyah dinobatkan sebagai
khalifah di ’Iliya’ (Yerusalem) pada 40-H/660-M. Dengan penobatannya itu, ibu
kota provinsi Suriah, Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam.
Mu’awiyah memiliki kekuasaan yang terbatas karena beberapa wilayah Islam tidak
mengakui kekhalifahannya. Selama proses arbitrase berlangsung, ’Amr bin
al-’Ash, tangan kanan Mu’awiyah, telah merebut Mesir dari tangan pendukung
Khalifah ’Ali bin Abi Thalib. Meski demikian, para penduduk di wilayah Irak
mengangkat Hasan, putra tertua Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus
yang sah.[3]
Akan tetapi, karena tidak didukung
oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak Mu’awiyah semakin kuat, Hasan tidak
lama menjabat sebagai khalifah. Akhirnya Mu’awiyah melakukan perjanjian dengan
Hasan. Isi perjanjian itu adalah penggantian pemimpin akan diserahkan kepada
umat Islam sesudah masa Mu’awiyah berakhir. Perjanjian itu dibuat pada tahun
661-M (41-H), dan perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu
kepemimpinan politik di bawah kepemimpinan Mu’awiyah dan Mu’awiyah mengubah
sistem khilafah menjadi kerajaan.[4]
Di samping itu pula, Mu’awiyah
mengiming-imingi janji kepada Hasan bahwa Mu’awiyah akan memberinya subsidi dan
pensiun seumur hidup sebesar lima juta dirham dari perbendaharaan Kufah,
ditambah pemasukan dari sebuah distrik di Persia. Akhirnya Hasan menghabiskan
sisa hidupnya di Madinah dengan tenang dan nyaman hingga meninggal di usia 45
tahun (+ 669).[5]
Ketika Yazid bin Mu’awiyah naik
tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Mu’awiyah kemudian mengirim surat kepada
Gubernur Madinah, memintanya
untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua
orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin Zubair bin Awwam. Bersamaan dengan itu,
kaum Syi’ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan
konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain melakukan
perlawanan. Husain sendiri juga dibaiat sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun
680-M, Yazid bin Mu’awiyah mengirim pasukan untuk memaksanya setia pada
pemerintahan Dinasti Umayyah, sehingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang
yang kemudian hari itu dikenal dengan Pertempuran Karbala.[6]
Pertempuran Karbala terjadi pada 10
Muharam 61-H (10 Oktober 680-M). Dengan membawa 4.000 pasukan, Umar anak Sa’ad
bin Abi Waqqash, seorang jenderal terkenal, mengepung dan membantai Husain yang
hanya didampingi oleh sekitar 200 orang. Cucu Nabi Muhammad itu gugur dengan
bekas luka di sekujur tubuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Yazid di
Damaskus, yang kemudian diserahkan kepada saudara perempuan dan anak Husain
yang selamat dari pembantaian dan digiring ke Damaskus. Kemudian kepala Husain
dikuburkan bersama tubuhnya di Karbala.[7]
b. Masa Keemasan Dinasti Umayyah
1) Bidang Pemerintahan
Pada masa Dinasti Umayyah, pusat pemerintahan dari
Madinah dipindahkan ke Damaskus. Keputusan ini berdasarkan pada pertimbangan
politis dan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah, pusat kaum Syi’ah, dan
juga jauh dari Hijaz, tempat tinggal Bani Hasyim. Lebih dari itu, Damaskus yang
terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah genggaman
Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat menjadi gubernur di distrik ini
sejak zaman Khalifah Umar bin al-Khattab.[8]
Dalam menjalankan pemerintahannya, Khalifah Dinasti
Umayyah dibantu oleh beberapa al-Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
a) Katib ar-Rasail yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan
pembesar-pembesar setempat.
b) Katib al-Jund yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
c) Katib asy-Syurthah yaitu
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
umum.
d) Katib al-Qadhi yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan
hakim setempat.[9]
Dinasti Umayyah pada masa
kepemimpinan Mu’awiyah, mendirikan suatu departemen pencatatan (diwan
al-kahatam). Setiap peraturan yang dikeluarkah oleh khalifah harus disalin
dalam suatu catatan, lalu yang asli harus disegel dan dikirimkan ke alamat yang
dituju. Di samping itu, pelayanan pos (diwan al-barid) diperkenalkan juga oleh
Mu’awiyah. Kepala Pos memberitahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang
terjadi di dalam pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Mu’awiyah melaksanakan
kekuasaan pemerintah pusat. Dia membentuk dua sekretaris kerajaan yang medianya
bahasa Arab, dan sekretaris provinsi yang menggunakan bahasa Yunani dan Persia.
Kemudian, Mu’awiyah juga memisahkan
antara urusan keuangan dan urusan pemerintahan. Dia mengangkat seorang gubernur
di setiap provinsi untuk melaksanakan pemerintahan. Akan tetapi, untuk memungut
pajak, di masing-masing provinsi diangkat seorang pejabat khusus dengan gelar
Shahib al-Kharraj. Pejabat ini terikat dengan gubernur, dan diangkat oleh
khalifah. Dalam masalah keuangan, gubernur harus menggantungkan dirinya pada Shahib
al-Kharraj, dan hal ini membatasi kekuasaannya. Demikianlah Mu’awiyah
mengembangkan keadaan yang teratur dari kekacauan.[10]
2) Bidang Hukum
Pada bidang pelaksanaan hukum, Dinasti Umayyah
membentuk suatu lembaga yang bernama Nizham al-Qadha (organisasi kehakiman).
Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga badan, yaitu:[11]
a)
Al-Qadhi,
bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada
“mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu Al-Qadhi menggali
hukum sendiri dari Al-kitab dan As-Sunnah dengan berijtihad.
b)
Al-Hisbah,
bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat.
c)
An-Nazhar
fil Mazhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Lembaga peradilan dipegang oleh
orang Islam, sedangkan semua kalangan nonmuslim mendapatkan otonomi hukum di
bawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka.[12]
3) Bidang Kemiliteran
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, perkembangan
militer bangsa Arab telah mencapai kemajuan yang signifikan. Dalam
peperangan dengan tentara Bizantium, bangsa Arab sekaligus mempelajari
kelebihan metode militer Romawi dan menggunakannya sebagai model mereka.[13]
Sebagai organisator militer,
Mu’awiyah adalah yang paling unggul di antara rekan-rekan sezamannya. Ia
mencetak bahan mentah yang terdiri atas pasukan Suriah menjadi satu kekuatan
militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia menghapus sistem
militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan.[14]
Mu’awiyah melaksanakan perubahan
besar dan menonjol di dalam pemerintahannya dengan mengandalkan angkatan
daratnya yang kuat dan efisien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang
Suriah yang taat dan setia, yang tetap berdiri di sampingnya walau dalam
keadaan yang berbahaya sekalipun. Dengan bantuan pasukan ini, Mu’awiyah
berupaya mendirikan pemerintahan yang stabil.[15]
Pos-pos pemeriksaan di berbagai
benteng orang Islam, didirikan pada posisi-posisi yang strategis, di
persimpangan jalur militer atau di jalan masuk lembah yang sempit. Pos militer
dan daerah sekitarnya itu disebut ’awashim. Namun, dalam pengertian yang lebih
sempit, ’awashim merupakan jalur perbatasan bagian dalam, terletak di sebelah
Selatan, sepanjang pertahanan yang dijaga satu unit pasukan.[16]
Tentara Umayyah secara umum
dirancang mengikuti struktur organisasi Tentara Bizantium. Kesatuannya dibagi
ke dalam lima kelompok, yaitu tengah, dua sayap, depan dan belakang. Formasi
semacam ini terus digunakan hingga masa khlalifah terakhir, Marwan bin Muhammad
(744-M-750-M), yang memperkenalkan satu unit pasukan baru yang disebut dengan
kurdus (legiun).
Secara umum, ekspansi yang dilakukan
pemerintahan Dinasti Umayyah berhasil melakukan penaklukan yang meliputi tiga
wilayah. Pertama, melawan pasukan Romawi di Asia Kecil. Penaklukan ini
sampai dengan pengepungan Konstantinopel dan beberapa kepulauan di Laut Tengah.
Kedua, wilayah Afrika Utara. Penaklukan ini sampai ke Samudera Atlantik
dan menyeberang ke Gunung Thariq hingga ke Spanyol. Ketiga, wilayah
Timur. Penaklukan ini sampai ke sebelah Timur Irak. Kemudian meluas ke wilayah
Turkistan di Utara, serta ke wilayah Sindh di bagian Selatan. Ekspansi ini
dalam rangka memperluas wilayah kekuasaan yang merupakan lanjutan dari ekspansi
yang dilakukan oleh para pemimpin Islam sebelumnya.[17]
Mu’awiyah berhasil menaklukkan
Tunis, Khurasan sampai ke sungai Oxus serta Afganistan sampai ke Kabul, dan
angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel. Ekspansi ini selanjutnya dilakukan oleh Khalifah Abd al-Malik.
Ia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana dan Samarkand.
Pasukannya juga sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[18]
Di samping itu, Walid bin Abd
al-Malik adalah khalifah yang berhasil menundukkan Maroko dan Aljazair. Dari
kota ini, ekspansi diteruskan ke Eropa yang dipimpin oleh Thariq bin Ziyad,
hingga mampu mengalahkan Tentara Spanyol. Pada zaman Umar bin Abd al-’Aziz
serangan dilakukan ke Perancis yang dipimpin oleh Abd ar-Rahman bin Abdullah
al-Gafiqi. Di Perancis, umat Islam berhasil menundukkan Bordeau dan Poitiers.
Selanjutnya serangan diteruskan untuk menundukkan kota Tours. Namun al-Gafiqi
mati terbunuh, akhirnya tentara Islam mundur dan kembali ke Spanyol.[19]
Di Afrika, pasukan Dinasti Umayyah
berhasil menaklukkan Benzarat pada tahun 41 H / 661 M. Qamuniyah (dekat
Qayrawan), Susat juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Uqbah bin Nafi berhasil
menaklukkan Mogadishu, Sirt dan Tharablis, dan Wadan. Kota Qaryawan dibangun
pada tahun 50 H / 670 M. Sementara itu, Kur yang merupakan sebuah wilayah di
Sudan berhasil pula ditaklukkan. Akhirnya penaklukkan ini sampai ke wilayah
Maghrib Tengah (Al-Jazair). Uqbah bin Nafi adalah komandan yang paling terkenal
di kawasan ini.
Penaklukkan meluas ke kawasan Timur
(negeri Asia Tengah dan Sindh). Negeri-negeri Asia Tengah meliputi kawasan yang
berada di antara sungai Sayhun dan Jayhun. Di antara kerajaan yang paling
penting adalah Thakharistan dengan ibukotanya Balkh, Shafaniyan dengan ibukota
Syawman, Shagdad dengan ibukota Samarkand dan Bukhari, Farghanah dengan ibukota
Jahandah, Khawarizm dengan ibukota Jurjaniyah, Asyrusanah dengan ibukota
Banjakat, Syasy dengan ibukota Bankats. Pasukan Dinasti Umayyah menyerang Asia
Tengah pada tahun 41 H / 661 M.
Pada tahun 43 H / 663 M, pasukan ini dapat menaklukkan
Sajistan dan sebagian wilayah Thakharistan pada tahun 44 H / 665 M. Mereka
sampai ke wilayah Quhistan. Pada tahun 44 H / 664 M, pasukan Dinasti Umayyah
menyerang wilayah Sindh dan India. Penduduk di tempat itu senantiasa
melaksanakan pemberontakan sehingga membuat kawasan ini selamanya tidak stabil,
kecuali pada masa pemerintahan Walid bin Abd al-Malik.[20]
4) Bidang Ekonomi
Pada masa Dinasti Umayyah, ekonomi mengalami kemajuan
yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka hal itu
memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan.
Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke dunia Islam. Penggunaan
tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan
menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya
mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.[21]
Tetapi bukan hanya eksplotasi yang
bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Dinasti umayyah, tetapi ada
juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari
kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia
berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan
perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan.[22]
Sejumlah uang emas dan perak pernah
dicetak sebelumnya pada masa ’Abd al-Malik, tapi cetakan itu hanyalah tiruan
dari mata uang Bizantium dan Persia. Selanjutnya pada tahun 695-M, ’Abd
al-Malik mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya orang
Arab. Wakilnya di Irak, al-Hajjaj, mencetak uang perak di Kufah pada tahun
berikutnya.[23]
Adapun sumber utama pemasukan sama
saja dengan sumber pendapatan pada masa Khulafa ar-Rasyidin, yaitu pajak. Di
setiap provinsi, semua biaya untuk urusan administrasi lokal, belanja tahunan
negara, gaji pasukan, dan berbagai bentuk layanan masyarakat dipenuhi dari
pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas negara.[24]
5) Bidang Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang muslim Arab
memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali).
Orang-orang Arab memandang dirinya “sayyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab,
seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab
dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak
bernegara.[25]
Masyarakat pada masa Dinasti Umayyah
terbagi ke dalam empat kelas sosial. Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para
penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristokrat Arab. Kelas
sosial kedua adalah para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga
negara mengakui hak penu mereka sebagai warga muslim. Kelas sosial ketiga
adalah anggota sekte dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut ahl
al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian
dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah dalam masyarakat adalah
golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah diperbaiki, tetapi
dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.[26]
Khalifah Dinasti Umayyah banyak yang
bergaya hidup mewah dan sama sekali berbeda dengan para khalifah sebelumnya.
Meskipun demikian, mereka tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan
cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan
menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan tersebut mereka digaji
oleh pemerintah secara tetap.[27]
Memang, kehidupan pribadi para
khalifah Dinasti Umayyah tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan. Hampir
semua khalifah memiliki gundik. Yazid-bin Abd al-Malik sangat mencintai dua
gadis penyanyinya, Salamah dan Habibah, sehingga ketika Habibah meninggal
karena tersumbat sebuah anggur yang dilempar khalifah ke dalam mulutnya ketika
sedang bercanda. Khalifah yang tengah dimabuk asmara itu sangat menyesal hingga
meninggal dunia.
Di bawah penguasa Yazid bin
Mu’awiyah, penggunaan anggur menjadi sebuah tradisi. Pesta anggur biasanya dilakukan
bersamaan dengan pesta musik. Permainan dadu dan kartu juga dipraktekkan di
dalam kerajaan. Balapan kuda sangat populer di bawah kekuasaan Dinasti Umayyah.
Musik dikembangkan dan sejumlah uang diberikan kepada para pemusik dan
penyanyi.[28]
Meski demikian, pesta-pesta semacam
itu tidak sepenuhnya kosong dari nilai budaya. Pesta-pesta itu menggugah
perkembangan puisi, musik dan sisi kehidupan estetika secara umum, tidak hanya
menjadi arena pesta pora.[29]
Selama periode kekuasaan Dinasti
Umayyah, dua kota Hijaz, Mekah dan Madinah, menjadi tempat berkembangnya musik,
lagu dan puisi. Sementara itu, kota kembar di Irak, Bashrah dan Kufah,
berkembang menjadi pusat aktivitas intelektual di dunia Islam. Di sini, kajian
ilmiah tentang bahasa dan tata bahasa Arab telah dimulai. Motif awalnya adalah
keinginan untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk agama Islam baru yang
ingin mempelajari Al-Qur’an, menduduki posisi pemerintahan, dan bisa
berinteraksi dengan para penakluk. Di samping itu, kesenjangan yang besar
antara bahasa klasik Al-Qur’an dengan bahasa percakapan sehari-hari yang telah
tercampur dengan bahasa Suriah, Persia dan bahasa serta dialek lain menjadi
pemicu munculnya minat pengkajian bahasa. Oleh karena itu, bukan suatu
kebetulan jika perintis tata bahasa Arab legendaris Abu al-Aswad al-Duwali
(wafat 688-M), berasal dari Baghdad.[30]
Al-Qur’an yang telah dikodifikasi
pada zaman Abu Bakar dan ‘Utsman bin ‘Affan ditulis tanpa titik.[31]
Menurut salah satu riwayat, ulama pertama yang memberikan baris dan titik pada
huruf-huruf Al-Qur’an adalah Hasan al-Bashri (642 – 728 M) atas perintah Abd
al-Malik bin Marwan (685 – 705 M). Abd al-Malik bin Marwan menginstruksikan
kepada al-Hajjaj untuk menyempurnakan tulisan Al-Qur’an. Lalu al-Hajjaj meminta
Hasan al-Bashri untuk menyempurnakannya. Dalam hal ini, Hasan al-Bashri dibantu
oleh Yahya bin Ya’mura (murid Abu al-Aswad ad-Duwali). Dalam riwayat lain,
dikatakan bahwa yang pertama membuat baris dan titik pada huruf-huruf Al-Qur’an
adalah Abu al-Aswad ad-Duwali. Selanjutnya, pada masa Khalifah Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz, telah dipelopori juga untuk penullisan hadits. Beliau
memerintahkan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hajm (120 H), Gubernur
Madinah, untuk menuliskan hadits yang ada dalam hafalan – hafalan penghafal
hadits.[32]
6) Bidang Keagamaan
Pada masa Dinasti Umayyah, terdapat cikal bakal
gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan fondasi Islam.
Hal ini ditandai pada paruh pertama abad ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh
terkenal bernama Washil bin ‘Atha (wafat tahun 748-M), seorang pendiri mazhab
rasionalisme kondang yang disebut Mu’tazilah. Orang Mu’tazilah memperoleh
sebutan itu, karena mendakwahkan ajaran bahwa siapa pun yang melakukan dosa
besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak
menjadikannya kafir. Dalam hal ini, orang semacam itu berada dalam kondisi
pertengahan antara kedua status itu. Washil pernah belajar kepada Hasan
al-Bashri, yang cenderung pada doktrin kebebasan berkehendak (free will),
yang kemudian menjadi doktrin utama dalam sistem keyakinan orang Mu’tazilah.
Doktrin tersebut pada saat itu dianut oleh kelompok Qadariyah (free will),
yang dibedakan dari kelompok Jabariyah (fatalism). Orang Qadariyah
merepresentasikan penentangan terhadap konsep takdir yang ketat dalam Islam,
kekuasaan Tuhan yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an,[33]
dan pengaruh Yunani Kristen.[34]
Di samping itu, tumbuhnya gagasan dan pemikiran
filosofis Arab pada waktu itu, tidak terlepas dari pengaruh tradisi Kristen dan
filsafat Yunani. Salah satu agen utama yang memperkenalkan Islam dengan tradisi
Kristen dan pemikiran Yunani pada masa itu adalah St. John (Santo Yahya) dari
Damaskus (Joannes Damascenus), yang dijuluki Chrysorrhoas (lidah emas), karena
saat tinggal di Antokia ia dikenal dengan nama Chrysostom.
Selain Mu’tazilah, sekte keagamaan
lain yang tumbuh berkembang pada masa ini adalah kelompok Khawarij. Pada
awalnya kelompok ini adalah pendukung setia Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, namun
pada perkembangannya menjadi penentang Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang paling
berbahaya.[35] Ini
terjadi karena mereka menolak hasil perundingan antara Khalifah ‘Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiyah, mereka melakukan pemberontakan dan melakukan kerusakan di
muka bumi. Kelompok Khawarij merupakan orang-orang yang keras kepala dan
menginginkan manusia hanya ada dalam dua kubu, yaitu kafir dan mukmin.
Barang siapa yang sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai orang mukmin. Sebaliknya,
barang siapa yang dianggap tidak sesuai dengan pandangannya, dianggap sebagai
orang kafir.[36]
Sekte lain yang muncul pada masa
Dinasti Umayyah adalah Murji’ah, yang mengusung doktrin irja’, yaitu
penangguhan hukuman terhadap orang beriman yang melakukan dosa, dan mereka
tetap dianggap muslim. Menurut Murji’ah, kenyataan bahwa Dinasti Umayyah adalah
orang Islam sudah cukup menjadi pembenaran bahwa mereka merupakan pemimpin
umat. Secara umum, ajaran pokok Murji’ah berkisar pada toleransi.[37]
Di antara gagasan pemikiran Murji’ah yang terpenting adalah bahwa mukmin yang
melakukan maksiat akan disiksa oleh Allah di akhirat nanti, dan setelah disiksa
akan ditempatkan di surga.[38]
Kelompok lainnya adalah Syi’ah.
Kegigihan kelompok Syi’ah dengan keyakinan utamanya terhadap Khalifah ‘Ali bin
Abi Thalib dan putra-putranya, yang diklaim sebagai imam sejati, masih
tetap menjadi karakteristik utama kelompok ini.[39]
Kelompok ini lahir setelah gagalnya perundingan damai antara Khalifah ‘Ali bin
Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dari peristiwa ini pengikut setia
Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib menganut suatu aliran dalam Islam yang disebut
dengan Syi’ah. Kelompok ini meyakini Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib beserta para
keturunannya adalah pemimpin umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW.[40]
7) Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan
formal. Putra-putra khalifah Dinasti Umayyah biasanya akan ”disekolahkan” ke
badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami
puisi. Ke sanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi
penerusnya, Yazid bin Mu’awiyah. Masyarakat luas memandang orang yang dapat
membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, serta
pandai berenang, sebagai seorang terpelajar. Nilai-nilai utama yang ditanamkan
dalam pendidikan, sebagaimana terungkap dari berbagai literatur tentang
pendidikan adalah keberanian, daya tahan saat tertimpa musibah, mentaati hak
dan kewajiban tetangga, menjaga harga diri, kedermawanan dan keramahtamahan,
penghormatan terhadap perempuan, dan pemenuhan janji. Kebanyakan nilai tersebut
sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang badui.
Ilmu pengetahuan yang dikenal oleh
orang Arab pada masa itu terdiri dari dua macam, yaitu ilmu agama dan ilmu
tubuh manusia (ilmu pengobatan). Pada masa penaklukan Arab di Asia Barat, ilmu
pengetahuan Yunani tidak berjaya lagi. Ia lebih merupakan sebuah tradisi yang
dilestarikan oleh para praktisi dan komentator tulisan Yunani atau Suriah.
Dokter-dokter istana Dinasti Umayyah berasal dari kelompok tersebut. Tabib paling
menonjol diantara mereka adalah Ibn Utsal, seorang dokter Mu’awiyah yang
beragama Kristen, Tayazhuq, dokter al-Hajjaj dari Yunani. Seorang dokter Yahudi
dari Persia, Masarjawayh yang tinggal di Bashrah pada masa awal-awal
pemerintahan Marwan bin al-Hakam, menerjemahkan ke dalam bahasa Arab sebuah
naskah Suriah tentang pengobatan yang awalnya ditulis dalam bahasa Yunani oleh
seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan merupakan buku ilmiah
pertama dalam bahasa Arab.
Ilmu pengetahuan di masa ini
mengalami perkembangan yang pesat, bahkan ilmu pengobatan mencapai
kesempurnaannya di Arab. Khalid bin Yazid memperoleh kesarjanaan dalam ilmu
kimia dan kedokteran, serta menulis beberapa buku tentang bidang itu.[41]
Khalid bin Yazid (wafat tahun 704-M atau 708-M) putra khalifah Dinasti Umayyah
kedua, merupakan orang Islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa
Yunani dan Koptik tentang kimia, kedokteran, dan astrologi. Meskipun terbukti
legendaris, mengasosiasikan penerjemahan itu kepada Khalid bin Yazid menjadi
penting, karena hal itu membuktikan fakta bahwa orang Arab menggali tradisi
ilmiah mereka dari sumber-sumber Yunani, dan dari sanalah mereka memperoleh
tenaga penggeraknya.
Naskah-naskah astrologi dan kimia
yang dinisbatkan kepada Ja’far al-Shadiq (700-M-765-M), seorang keturunan
Khalifah ’Ali bin Abi Thalib, dan salah satu dari 12 imam Syi’ah, telah
diragukan keasliannya oleh para sarjana modern yang kritis. Kenyataan paling
tidak menyenangkan seputar kehidupan intelektual pada masa Dinasti Umayyah
adalah bahwa ia tidak mewariskan kepada kita sumber-sumber berbentuk dokumen
yang bisa dijadikan bahan kajian.[42]
c. Masa Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Umayyah
Sepeninggal ‘Umar bin Abd al-Azis yang dikenal sebagai
sufi-nya Dinasti Umayyah,[43]
kekuasaan Dinasti Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abd al-Malik (720- 724 M). Masyarakat yang
sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan kedamaian, pada masa itu berubah
menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat
menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abd al-Malik cendrung
kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus
berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abd al-Malik (724-M-743-M). Bahkan pada masa ini
muncul satu kekuatan baru yang di kemudian hari menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Dinasti Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan Mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin Abd al-Malik
adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan
oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil dipadamkannya.[44]
Akhirnya, masa keemasan Dinasti
Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (724 – 743 M),
anak keempat Abd al-Malik. Oleh pakar Arab, Hisyam Abd al-Malik dipandang
sebagai negarawan ketiga dalam Dinasti Umayyah setelah Mu’awiyah dan Abd
al-Malik. Diriwayatkan bahwa gubernurnya di Irak, Khalid bin Abdillah al-Qasri
yang di bawah kepemimpinannya daerah itu menjadi makmur, terutama karena
pembangunan teknik dan saluran air yang dikerjakan oleh Hasan al-Nabathi,
menggelapkan kelebihan pendapatan negara sebesar 13 juta dirham dengan cara
memotong pemasukan negara tiga kali lipat dari jumlah itu. Akhirnya Khalid bin
Abdillah Al-Qasri ditangkap pada tahun 738-M, dipenjara, disiksa, dan
diharuskan mengganti uang Negara. Kasus itu hanyalah satu gambaran tentang
terjadinya penyimpangan administrasi dan korupsi dalam pemerintahan Dinasti
Umayyah yang menyebabkan keruntuhannya.[45]
Sejarawan Arab sangat memuji Hisyam
bin Abd al-Malik. Empat penggantinya, kecuali Marwan bin Muhammad yang menjadi
khalifah terakhir Dinasti Umayyah, terbukti tidak cakap, atau bisa dikatakan
tidak bermoral dan bobrok. Bahkan para khalifah sebelum Hisyam bin Abd al-Malik
pun, yang dimulai oleh Yazid-bin Mu’awiyah, lebih suka berburu, pesta
minum, tenggelam dalam alunan musik dan puisi, ketimbang membaca Al-Qur’an atau
mengurus persoalan negara. Perilaku buruk kelas penguasa hanyalah gambaran
kecil dari kebobrokan moral yang bersifat umum. Buruknya peradaban terutama
menyangkut minuman keras, perempuan dan nyanyian, telah menjangkiti para putra
gurun.
Mengalir dari uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa banyak sekali hal-hal yang memberikan kontribusi terhadap
keruntuhan Dinasti Umayyah. Namun secara garis besar dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1)
Potensi
perpecahan antara suku, etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat,
menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang mengganggu
stabilitas negara.
2)
Adanya
permasalahan suksesi kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas
tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun mengakibatkan gangguan serius
di tingkat negara.[46]
3)
Sisa-sisa
kelompok pendukung Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib yang umumnya adalah kaum Syi’ah
dan kelompok Khawarij terus aktif menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
maupun secara tersembunyi. Tentu saja gerakan oposisi ini sangat berpengaruh
sekali terhadap stabilitas pemerintahan Dinasti Umayyah.
4)
Sebagian
besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur
lainnya, merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahan Dinasti Umayyah.
Karena status tersebut menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan
bangsa Arab. Mereka tidak mendapat fasilitas dari penguasa Dinasti Umayyah
sebagaimana yang diperoleh oleh orang-orang Islam Arab.
5)
Sikap hidup
mewah di lingkungan istana merupakan salah satu faktor lemahnya pemerintahan
Dinasti Umayyah, sehingga keturunan Dinasti Umayyah tidak sanggup memikul beban
berat kenegaraan ketika mereka mewarisi kekuasaan.
6)
Terakhir,
penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-’Abbas bin Abd al-Muthallib.
Gerakan ini sepenuhnya memperoleh dukungan dari Bani Hasyim dan kubu Syi’ah
serta golongan Mawali yang merasa dianggap sebagai masyarakat kelas dua
oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.[47]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Dinasti Umayyah lahir dari gejolak politik yang haus akan kekuasaan.
Dinasti Umayyah masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah, dan hal ini
dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kehormatan dan melanggengkan
kekuasaannya. Akhirnya ambisi Dinasti Umayyah tercapai juga oleh keturunan yang
bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan hingga mencapai masa keemasannya.
Masa keemasan tersebut tidak berlangsung
lama, Dinasti Umayyah mulai mengalami kemunduran pada masa kepemimpinan Yazid bin Abd al-Malik (720- 724 M). Pemerintahan Yazid
bin Abd al-Malik cenderung kepada kemewahan, kurang memperhatikan kehidupan
rakyat, dan mengakibatkan kerusuhan hingga pada masa kepemimpinan Hisyam bin Abdul-Malik (724-743 M).
Dinasti Umayyah mendapatkan
perlawanan yang semakin kuat dari gerakan oposisi. Setelah Hisyam bin Abd al-Malik wafat, khalifah-khalifah Dinasti
Umayyah yang tampil berikutnya bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk.
Hal ini semakin memperkuat golongan oposisi. Hingga pada akhirnya, di tahun 750
M, Dinasti Umayyah digulingkan oleh Bani ‘Abbasiyah yang
merupakan bagian dari Bani Hasyim itu sendiri. Kematian Marwan bin Muhammad
sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah, menandai berakhirnya kekuasaan
Dinasti Umayyah di Timur (Damaskus).
Dinasti Umayyah berhasil membangun
sebuah masyarakat muslim yang tertata rapi. Di masa Dinasti Umayyah, telah
dibangun kantor catatan negara dan layanan pos,[48]
yang mana pada masa Abd al-Malik menjadi sebuah institusi rapi yang
menghubungkan berbagai wilayah kekuasaannya yang luas. Keberadaan Dinasti
Umayyah juga telah melahirkan awal perkembangan ilmu pengetahuan, dan
berkembangnya sistem pemerintahan yang lebih baik.
No
|
Nama
Khalifah
|
Memerintah
|
||
Lama
|
Mulai
|
Selesai
|
||
1
|
Mu’awiyah
bin Abi Sofyan
|
19 th 3
bln
|
41 H / 661
M
|
60 H / 681
M
|
2
|
Yazid bin
Mu’awiyah
|
3 th 6 bln
|
60 H / 681
M
|
64 H / 683
M
|
3
|
Mu’awiyah
bin Yazid
|
6 bln
|
64 H / 683
M
|
64 H / 684
M
|
4
|
Marwan bin
Hakam
|
9 bl 18
hari
|
64 H / 684
M
|
65 H / 685
M
|
5
|
Abdul
Malik bin Marwan
|
21 th 8
bln
|
65 H / 685
M
|
86 H / 705
M
|
6
|
Walid bin
Abdul Malik
|
9 th 7 bln
|
86 H / 705
M
|
96 H / 715
M
|
7
|
Sulaiman
bin Abdul Malik
|
2 th 8 bln
|
96 H / 715
M
|
99 H / 717
M
|
8
|
Umar bin
Abdul Aziz
|
2 th 5 bln
|
99 H / 717
M
|
101 H /
720 M
|
9
|
Yazid bin
Abdul Malik
|
4 th 1 bln
|
101 H /
720 M
|
105 H /
724 M
|
10
|
Hisyam bin
Abdul Malik
|
19 th 9
bln
|
105 H /
724 M
|
125 H /
743 M
|
11
|
Walid bin
Yazid
|
1 th 2 bln
|
125 H / 743
M
|
126 H /
744 M
|
12
|
Yazid bin
Walid
|
6 bln
|
126 H /
744 M
|
126 H /
744 M
|
13
|
Ibrahim
bin Yazid
|
4 bln
|
126 H /
744 M
|
127 H /
744 M
|
14
|
Marwan bin
Muhammad
|
5 th 10
bln
|
127 H /
745 M
|
132 H /
750 M
|
C. Saran
Penulis paham bahwa menceritakan
kembali yang telah terjadi selama 90 tahun tentu bukan hal yang mudah.
Kedangkalan ilmu penulis menyebabkan studi makalah ini juga dangkal. Kritik dan
saran pembaca akan memperkaya studi Daulah Bani Umayyah ini akan menjadi
mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
- A.Hajsmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
- Ahmad al-Usairi, Sejarah Islam : Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Samson Rahman, penerjemah, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2006.
- Ahmad Sya’labi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Al-Husna Zikra, 1995.
- Ahmed Fakhry, An Archeological Journey to Yemen, Jilid I, Kairo, 1952.
- Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta, Logos, 1997.
- Bosworth, C.E., The Islamic Dynasties (Dinasti-Dinasti Islam), Ilyas Hasan, penerjemah, Bandung, Mizan, 1993.
- Dedi Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
- Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jakarta, UII Press, 1985.
- J.Sayuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta, LSIK, 1994.
- K. Ali, A Study of Islamic History (Studi Sejarah Islam), Adang Affandi, penerjemah, Jakarta, Binacipta, 1995.
- Philip K. Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, penerjemah, Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
- Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts & History, New Delhi, Kitab Bhavan, 1981.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah
- Britannica Encyclopedia, Battle of Karbala, http://www. britannica.com /EBchecked
[3] Philip K.
Hitti, History of The Arabs, R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi, penerjemah, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 235.
[8] J.Sayuti
Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta :
LSIK, 1994), hal.164.
[10] Syed
Mahmudunnasir, Islam Its Concepts & History, (New Delhi : Kitab
Bhavan, 1981), hal. 152-153.
[13] K. Ali, A
Study of Islamic History (Studi Sejarah Islam), Adang Affandi, penerjemah,
(Jakarta : Binacipta, 1995), hal. 233.
[17] Ahmad
al-Usairi, Sejarah Islam : Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Samson
Rahman, penerjemah, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2006), hal. 188.
[21] Bosworth,
C.E., The Islamic Dynasties (Dinasti-Dinasti Islam), Ilyas Hasan,
penerjemah, (Bandung : Mizan, 1993), hal. 26.
[27] Dr. Badri
Yatim, MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hal. 139.
[40] M. Mansyur
Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Indonesian Spirit Foundation,
2005), hal. 99.
0 komentar:
Posting Komentar