Pages

Minggu, 29 Maret 2015

QASHASH AL QUR’AN (KISAH-KISAH DALAM AL QUR’AN)

oleh: Siti Halimatus Sa'diyah,M.Pd.I

A.    Pendahuluan
Suatu peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar. Apabila dalam peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati. Dan nasihat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila melihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya. Orang pun akan merasa senang mendengarkannya, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa ingin tahu dan pada gilirannya ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kesusastraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas diantara seni-seni bahasa dan kesusastraan. Dan “kisah yang benar” telah membuktikan kondisi ini dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya dalam bentuk yang paling tinggi, yaitu kisah-kisah Qur’an.
B.     Pengertian Kisah
Kisah berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak.[1] Dikatakan “qashashtu atsarahu” artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al-qasas adalah bentuk masdar. Firman Allah : “fartaddaa ‘ala atsarihima qashasha” (al-Kahfi (18):64). Maksudnya, kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa: “wa qalat li ukhtihi qusshihi” (Dan berkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: Ikutilah dia ) (al-Qasas [28]:11). Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qasas berarti berita yang berurutan. Firman Allah: “Inna  hadza lahuwa alqashashul haq”  (Sesungguhnya ini adalah berita yang benar) ( Ali ‘Imran [3]:62 dan firman-Nya: “Laqod kaana fi qashashihim ‘ibratun li ulil albab” (Sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal) (Yusuf [12]:111). Sedang al-qisah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qasas Al Qur’an adalah pemberitaan Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa- peristiwa yang telah terjadi.[2] Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara menarik dan mempesona.

C.    Macam-macam Kisah dalam Al Qur’an
1.      Kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang akan diterima oleh mereka yang akan mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad dan Nabi-nabi serta rasul lainnya.
2.      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, Karun, orang-orang yang menangkap ikan pada hari Sabtu (ashabus sabti), Maryam, Ashabul Ukhdud, Ashabul Fil dan lain – lain.
3.      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk dalam surah at Taubah, perang Ahzab dalam surah al Ahzab, hijrah, Isra’ dan lain – lain

D.    Faedah Kisah-kisah Al Qur’an
Kisah-kisah dalam Qur’an mempunyai banyak faedah. Berikut ini beberapa faedah terpenting di antaranya.
1)   Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawaa oleh para nabi:
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan kami mengwahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (al –Anbiya [21] : 25)
2)   Meneguhkan hati Rasulullullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya.
“Dan semua kisah Rasul –rasul yang kami ceritakan kepadamu, adalah kisah – kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu, dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang – orang yang beriman” (Hud [11]:20)
3)   Membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4)   Menampakkan kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
5)   Menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya firman Allah :
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil ( Ya’kub ) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah : (Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali’ Imran [3]:93)
6)   Kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. Firman Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (Yusuf [12]:111)

E.     Pengulangan Kisah dan Hikmahnya
Qur’an banyak mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian yang di dahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang di kemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah:
1)   Menjelaskan ke-balagah-an Qur’an dalam tingkat paling tinggi. Sebab di antara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu di kemukakan di setiap tempat  dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula. Sehingga orang tidak merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat yang lain.[3]
2)   Menunjukkan kehebatan mukjizat Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan Arab. Merupakan tantangan dasyat dan bukti bahwa Qur’an itu datang dari Allah.
3)   Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesan lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan salah satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besar perhatian. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan. Sekalipun  kisah itu sering diulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surah.
4)   Perbedaan tujuan yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya diterangkan di suatu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.

F.     Kisah-kisah dalam Al Qur’an adalah Kenyataan, bukan Khayalan
Adalah pantas dikemukakan di sini, bahwa seorang mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperolah gelar doktor dengan judul  al Fannul Qasasiy fil Qur’an.[4] Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H. Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota yang ditujukan kepada Dekan Fakultas Adab, yang kemudian dipublikasikan dalam majalah Ar- Risalah . Nota itu berisi kritik pedas terhadap apa yang telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :
“Saya mendapatkan disertasi itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya disertasi itu menyatakan, kisah-kisah dalam Qur’an merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi seni, tanpa harus memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman dalam pengertian ini”.
“Atas dasar dan persepsi inilah” jelasnya lebih lanjut, “mahasiswa itu menulis disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi tersebut bagaimana cara menyusunnya” Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah contoh dari disertasi itu yang membuktikkan apa yang dilukisnya dalam nota singkatan itu.[5] Misalnya, persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam Al Qur’an tidak memegangi kebenaran sejarah, tetapi ia sejalan dengan pemerian seorang sastrawan yang memerikan suatu peristiwa secara artistik. Contoh lainnya ialah pandangannya bahwa bahwa Qur’an telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa ulama -ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’an ini sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Seorang Muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa Qur’an adalah Kalamullah dan suci dari pemerian artistik yang tidak memperhatikan realita sejarah. Kisah Qur’ani tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Nampaknya penulis disertasi telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusastraan dan ia mendapatkan bahwa di antara unsur pokoknya ialah khayalan yang bertumpu pada konsep. Semakin tinggi unsur khayalnya dan jauh dari realita, maka kisah itu semakin digandrungi memikat jiwa dan nikmat dibaca. Kemudian ia menganalogikan kisah Qur’ani dengan kisah sastrawi.
Qur’an tidaklah demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Yang Mahapandai, Maha bijaksana. Dalam berita-berita-Nya tidak kecuali yang sesuai dengan kenyataan. Apabila orang-orang terhormat dikalangan masyarakat enggan berkata dusta dan menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan, maka bagaimana seorang yang berakal dapat menghubungkan kepada kalam Yang Mahamulia dan Mahaagung?

Allah adalah Tuhan yang Hak :
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah , dialah (Tuhan ) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Dia, itulah yang batil “ (al-Hajj [22]:62)
Dia mengutusnya Rasul-Nya dengan hak pula :
Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran (hak) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan “ (Fatir [35]:24),
Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu yaitu kitab (Qur’an) itulah yang benar (hak ) (Fatir [35]:31)
Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, “  (an-Nisa [4] : 170).
Dan kami telah menurunkan kepadamu Qur’an dengan membawa kebenaran (hak) (al-Ma’idah [5]:48), dan
“Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar” (ar Ra’d [13]:1)
Dan semua apa yang dikisahkan Allah dalam Qur’an adalah hak pula:
“ Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad ) dengan sebenarnya (al-Kahfi [18]:13) dan
“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar (hak ). “ (al-Qasas [28]:3)

G.    Pengaruh Kisah-kisah Al Qur’an dalam Pendidikan dan Pengajaran
Tidak diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari ia menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsure-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik dari keindahan tamannya aneka ragam bunga dan buah-buahan.
Pelajaran yang disampaikan dengan metode talqin dan ceramah akan menimbulkan kebosanan, bahkan tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh generasi muda kecuali dengan  sulit dan berat serta memerlukan waktu yang cukup lama pula. Oleh karena itu, maka uslub qasasi (narasi) sangat bermanfaat dan mengandung banyak faedah.[6] Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya. Kemudian ia menirukan dan mengisahkannya.
Fenomena  fitrah  kejiwaan ini sudah seharusnya di manfaatkan oleh para pendidik dalam lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan inti pengajaran dan soko guru pendidikan.
Dalam kisah-kisah Qur’an terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal kependidikan berupa peri hidup para Nabi, berita-berita tentang umat dahulu, Sunnatullah dalam kehidupan masyarakat dan hal ihwal bangsa-bangsa. Dan semua itu dikatakan dengan benar dan jujur. Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah Qur’ani ini dengan uslub bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam nalar pelajar dalam segala tingkatan. Sejumlah kisah kegamaan yang disusun oleh Ustaz Sayid Qutub dan Ustaz as-Sahhar telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingnya. Demikian pula al Jarim telah menyajikan kisah-kisah Qur’ani dengan gaya sastra yang indah dan tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.

H.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil  pemaparan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1.      Di dalam Al Qur’an banyak disebutkan keterangan tentang kisah-kisah, peristiwa-peristiwa atau kejadian yang telah terjadi di masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Seperti, kisah para Nabi, kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, maupun kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Dimana disana disebutkan dan diceritakan tentang semua keadaan yang terjadi dengan cara yang menarik dan mempesona.
2.      Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an tersebut mempunyai banyak faedah atau manfaat yang bisa diambil misalnyanya, untuk membenarkan para nabi tedahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya. Selain itu kita juga dapat mengambil ibrah atau pelajaran ataupun hikmah dari kisah-kisah yang pernah terjadi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
3.      Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an dapat digunakan untuk bahan di dalam memberikan materi pembelajaran untuk anak didik agar mereka bisa mengambil pelajaran yang ada di dalamnya. Selain itu metode pembelajaran dengan cerita atau kisah apabila disampaikan dengan baik maka siswa akan menjadi lebih tertarik dan lebih mudah untuk memahami materi pembelajaran.

I.       Penutup
Demikian makalah yang telah penulis susun dengan pemaparan yang singkat ini. Tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak sekali kekurangan dari segi apapun. Dalam hal ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mohon untuk diberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat sebagai bahan diskusi bersama untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik.


[1]  Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012, hlm. 435

[2]  Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012, hlm. 435
[3]  Ibid, hlm. 438
[4]  Ia adalah Dr. Muhammad Ahmad Khalafullah
[5]  Kritik terhadap kitab “Al Fannul Qasasiy fil Qur’an”, oleh Ustadz Muhammad al Khidr Husain, dalam
   Balagatul  Qur’an, hlm. 94
[6]  Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012, hlm. 441

0 komentar:

Posting Komentar