A.
Pendahuluan
Suatu
peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para
pendengar. Apabila dalam peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran
mengenai berita-berita bangsa terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor
paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati. Dan
nasihat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak mampu menarik
perhatian akal, bahkan semua isinya tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila
melihat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam
realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya. Orang pun akan
merasa senang mendengarkannya, memperhatikannya dengan penuh kerinduan dan rasa
ingin tahu dan pada gilirannya ia akan terpengaruh dengan nasihat dan pelajaran
yang terkandung di dalamnya dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Kesusastraan kisah dewasa ini telah menjadi seni yang khas diantara seni-seni
bahasa dan kesusastraan. Dan “kisah yang benar” telah membuktikan kondisi ini
dalam uslub arabi secara jelas dan menggambarkannya dalam bentuk yang paling
tinggi, yaitu kisah-kisah Qur’an.
B.
Pengertian
Kisah
Kisah berasal dari kata al-qassu yang berarti mencari atau mengikuti jejak.[1]
Dikatakan “qashashtu atsarahu”
artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al-qasas adalah bentuk masdar. Firman Allah : “fartaddaa ‘ala atsarihima qashasha” (al-Kahfi (18):64). Maksudnya,
kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu
datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa: “wa qalat li ukhtihi qusshihi” (Dan
berkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: Ikutilah dia )
(al-Qasas [28]:11). Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang
mengambilnya.
Qasas
berarti berita yang berurutan. Firman Allah: “Inna hadza lahuwa alqashashul
haq” (Sesungguhnya ini adalah berita
yang benar) ( Ali ‘Imran [3]:62 dan
firman-Nya: “Laqod kaana fi qashashihim
‘ibratun li ulil albab” (Sesungguhnya
pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal)
(Yusuf [12]:111). Sedang al-qisah berarti
urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qasas Al Qur’an adalah
pemberitaan Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang
terdahulu dan peristiwa- peristiwa yang telah terjadi.[2]
Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa,
keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan
semua keadaan mereka dengan cara menarik dan mempesona.
C.
Macam-macam
Kisah dalam Al Qur’an
1.
Kisah para nabi.
Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat
dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangannya serta akibat-akibat yang akan diterima oleh mereka yang akan
mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun, Isa, Muhammad dan Nabi-nabi serta rasul lainnya.
2.
Kisah-kisah yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang
yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari
kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Talut dan
Jalut, dua orang putra Adam, penghuni gua, Zulkarnain, Karun, orang-orang yang
menangkap ikan pada hari Sabtu (ashabus
sabti), Maryam, Ashabul Ukhdud, Ashabul Fil dan lain – lain.
3.
Kisah-kisah yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah,
seperti perang Badar dan perang Uhud dalam surah Ali Imran, perang Hunain dan
Tabuk dalam surah at Taubah, perang Ahzab dalam surah al Ahzab, hijrah, Isra’
dan lain – lain
D.
Faedah
Kisah-kisah Al Qur’an
Kisah-kisah
dalam Qur’an mempunyai banyak faedah. Berikut ini beberapa faedah terpenting di
antaranya.
1)
Menjelaskan
asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawaa
oleh para nabi:
“Dan kami tidak mengutus seorang
Rasul pun sebelum kamu melainkan kami mengwahyukan kepadanya, bahwa tidak ada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (al
–Anbiya [21] : 25)
2)
Meneguhkan hati
Rasulullullah dan hati umat Muhammad atas agama Allah, memperkuat kepercayaan
orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya
kebatilan dan para pembelanya.
“Dan semua kisah Rasul –rasul yang
kami ceritakan kepadamu, adalah kisah – kisah yang dengannya kami teguhkan
hatimu, dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran
dan peringatan bagi orang – orang yang beriman” (Hud
[11]:20)
3)
Membenarkan para
nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak
dan peninggalannya.
4)
Menampakkan
kebenaran Muhammad dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal
ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
5)
Menyibak
kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk
yang mereka sembunyikan, dan menentang mereka dengan isi kitab mereka sendiri
sebelum kitab itu diubah dan diganti. Misalnya firman Allah :
“Semua makanan adalah halal bagi
Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil ( Ya’kub ) untuk
dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah : (Jika kamu mengatakan
ada makanan yang diharamkan sebelum Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu
bacalah ia jika kamu orang-orang yang benar.” (Ali’
Imran [3]:93)
6)
Kisah termasuk
salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan
memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. Firman
Allah:
“Sesungguhnya pada kisah mereka itu
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (Yusuf
[12]:111)
E.
Pengulangan
Kisah dan Hikmahnya
Qur’an
banyak mengandung berbagai kisah yang diungkapkan berulang-ulang di beberapa
tempat. Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam Qur’an dan
dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada
bagian-bagian yang di dahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian
pula terkadang di kemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar,
dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah:
1)
Menjelaskan ke-balagah-an Qur’an dalam tingkat paling
tinggi. Sebab di antara keistimewaan balagah adalah mengungkapkan sebuah makna
dalam berbagai macam bentuk yang berbeda. Dan kisah yang berulang itu di kemukakan
di setiap tempat dengan uslub yang
berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula.
Sehingga orang tidak merasa bosan karenanya, bahkan dapat menambah ke dalam
jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat
yang lain.[3]
2)
Menunjukkan
kehebatan mukjizat Qur’an. Sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai
bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentukpun tidak dapat ditandingi oleh
sastrawan Arab. Merupakan tantangan dasyat dan bukti bahwa Qur’an itu datang
dari Allah.
3)
Memberikan
perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesan lebih mantap dan
melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan salah satu cara pengukuhan dan
indikasi betapa besar perhatian. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini
menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit antara kebenaran dengan
kebatilan. Sekalipun kisah itu sering
diulang-ulang, tetapi pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surah.
4)
Perbedaan tujuan
yang karenanya kisah itu diungkapkan. Maka sebagian dari makna-maknanya
diterangkan di suatu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-makna
lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.
F.
Kisah-kisah
dalam Al Qur’an adalah Kenyataan,
bukan Khayalan
Adalah
pantas dikemukakan di sini, bahwa
seorang mahasiswa di Mesir mengajukan disertasi untuk memperolah gelar doktor
dengan judul al Fannul Qasasiy fil Qur’an.[4]
Disertasi tersebut telah menimbulkan perdebatan panjang pada tahun 1367 H.
Salah seorang anggota tim penguji disertasi, Prof. Ahmad Amin, menulis nota
yang ditujukan kepada Dekan Fakultas Adab, yang kemudian dipublikasikan dalam
majalah Ar- Risalah . Nota itu berisi
kritik pedas terhadap apa yang telah membelanya. Ahmad Amin dalam notanya itu
mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :
“Saya
mendapatkan disertasi itu tidak wajar, bahkan sangat berbahaya. Pada prinsipnya
disertasi itu menyatakan, kisah-kisah dalam Qur’an merupakan karya seni yang
tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas yang dipatuhi seni, tanpa harus
memegangi kebenaran sejarah. Dan kenyataannya Muhammad adalah seorang seniman
dalam pengertian ini”.
“Atas
dasar dan persepsi inilah” jelasnya lebih lanjut, “mahasiswa itu menulis
disertasinya, dari awal sampai akhir. Saya perlu mengemukakan sejumlah contoh
yang dapat memperjelas tujuan penulis disertasi tersebut bagaimana cara
menyusunnya” Ahmad Amin kemudian mengemukakan sejumlah contoh dari disertasi
itu yang membuktikkan apa yang dilukisnya dalam nota singkatan itu.[5]
Misalnya, persepsi penulis disertasi bahwa kisah dalam Al Qur’an tidak
memegangi kebenaran sejarah, tetapi ia sejalan dengan pemerian seorang sastrawan
yang memerikan suatu peristiwa secara artistik. Contoh lainnya ialah
pandangannya bahwa bahwa Qur’an telah menciptakan beberapa kisah, dan bahwa
ulama -ulama terdahulu telah berbuat salah dengan menganggap kisah Qur’an ini
sebagai sejarah yang dapat dipegangi.
Seorang
Muslim sejati adalah orang yang beriman bahwa Qur’an adalah Kalamullah dan suci
dari pemerian artistik yang tidak memperhatikan realita sejarah. Kisah Qur’ani
tidak lain adalah hakikat dan fakta sejarah yang dituangkan dalam untaian kata-kata
indah dan pilihan serta dalam uslub yang mempesona.
Nampaknya
penulis disertasi telah mempelajari seni-seni kisah dalam kesusastraan dan ia
mendapatkan bahwa di antara unsur pokoknya ialah khayalan yang bertumpu pada
konsep. Semakin tinggi unsur khayalnya dan jauh dari realita, maka kisah itu
semakin digandrungi memikat jiwa dan nikmat dibaca. Kemudian ia menganalogikan kisah
Qur’ani dengan kisah sastrawi.
Qur’an
tidaklah demikian halnya. Ia diturunkan dari sisi Yang Mahapandai, Maha
bijaksana. Dalam berita-berita-Nya tidak kecuali yang sesuai dengan kenyataan.
Apabila orang-orang terhormat dikalangan masyarakat enggan berkata dusta dan
menganggapnya sebagai perbuatan hina paling buruk yang dapat merendahkan
martabat kemanusiaan, maka bagaimana seorang yang berakal dapat menghubungkan
kepada kalam Yang Mahamulia dan Mahaagung?
Allah adalah Tuhan yang Hak :
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
Allah , dialah (Tuhan ) Yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru
selain Dia, itulah yang batil “ (al-Hajj
[22]:62)
Dia mengutusnya Rasul-Nya dengan
hak pula :
“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan
membawa kebenaran (hak) sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan “ (Fatir [35]:24),
“
Dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu
yaitu kitab (Qur’an) itulah yang benar (hak ) (Fatir [35]:31)
“
Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul
(Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, “ (an-Nisa’ [4] : 170).
“Dan kami telah menurunkan kepadamu Qur’an
dengan membawa kebenaran (hak)”
(al-Ma’idah
[5]:48),
dan
“Dan
kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar”
(ar Ra’d [13]:1)
Dan semua apa yang dikisahkan Allah
dalam Qur’an adalah hak pula:
“ Kami ceritakan kisah mereka
kepadamu (Muhammad ) dengan sebenarnya” (al-Kahfi
[18]:13) dan
“Kami membacakan kepadamu sebagian
dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar (hak ). “ (al-Qasas
[28]:3)
G.
Pengaruh
Kisah-kisah Al Qur’an dalam Pendidikan dan Pengajaran
Tidak
diragukan lagi bahwa kisah yang baik dan cermat akan digemari ia menembus
relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah
tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsure-unsurnya dapat dijelajahi
akal sehingga ia dapat memetik dari keindahan tamannya aneka ragam bunga dan
buah-buahan.
Pelajaran
yang disampaikan dengan metode talqin dan
ceramah akan menimbulkan kebosanan, bahkan tidak dapat diikuti sepenuhnya oleh
generasi muda kecuali dengan sulit dan
berat serta memerlukan waktu yang cukup lama pula. Oleh karena itu, maka uslub qasasi (narasi) sangat bermanfaat dan
mengandung banyak faedah.[6]
Pada umumnya, anak-anak suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat
kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya.
Kemudian ia menirukan dan mengisahkannya.
Fenomena fitrah
kejiwaan ini sudah seharusnya di manfaatkan oleh para pendidik dalam
lapangan pendidikan, khususnya pendidikan agama yang merupakan inti pengajaran
dan soko guru pendidikan.
Dalam
kisah-kisah Qur’an terdapat lahan subur yang dapat membantu kesuksesan para
pendidik dalam melaksanakan tugasnya dan membekali mereka dengan bekal
kependidikan berupa peri hidup para Nabi, berita-berita tentang umat dahulu, Sunnatullah dalam kehidupan masyarakat
dan hal ihwal bangsa-bangsa. Dan semua itu dikatakan dengan benar dan jujur.
Para pendidik hendaknya mampu menyuguhkan kisah-kisah Qur’ani ini dengan uslub
bahasa yang sesuai dengan tingkat nalar pelajar dalam nalar pelajar dalam
segala tingkatan. Sejumlah kisah kegamaan yang disusun oleh Ustaz Sayid Qutub
dan Ustaz as-Sahhar telah berhasil memberikan bekal bermanfaat dan berguna bagi
anak-anak kita, dengan keberhasilan yang tiada bandingnya. Demikian pula al
Jarim telah menyajikan kisah-kisah Qur’ani dengan gaya sastra yang indah dan
tinggi, serta lebih banyak analisis mendalam. Alangkah baiknya andaikata orang
lain pun mengikuti dan meneruskan metode pendidikan baik ini.
H.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pemaparan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa:
1. Di dalam Al Qur’an banyak disebutkan
keterangan tentang kisah-kisah, peristiwa-peristiwa atau kejadian yang telah
terjadi di masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan
peninggalan atau jejak setiap umat. Seperti, kisah para Nabi, kisah-kisah yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, maupun
kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah
SAW. Dimana disana disebutkan dan diceritakan tentang semua keadaan yang
terjadi dengan cara yang menarik dan mempesona.
2. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an
tersebut mempunyai banyak faedah atau manfaat yang bisa diambil misalnyanya,
untuk membenarkan para nabi tedahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka
serta mengabadikan jejak dan peninggalannya. Selain itu kita juga dapat
mengambil ibrah atau pelajaran ataupun hikmah dari kisah-kisah yang pernah
terjadi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
3. Kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an
dapat digunakan untuk bahan di dalam memberikan materi pembelajaran untuk anak
didik agar mereka bisa mengambil pelajaran yang ada di dalamnya. Selain itu
metode pembelajaran dengan cerita atau kisah apabila disampaikan dengan baik
maka siswa akan menjadi lebih tertarik dan lebih mudah untuk memahami materi
pembelajaran.
I.
Penutup
Demikian makalah yang telah penulis
susun dengan pemaparan yang singkat ini. Tentu dalam penulisan makalah ini
masih banyak sekali kekurangan dari segi apapun. Dalam hal ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya dan mohon untuk diberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk kesempurnaan penulisan makalah ini. Semoga makalah ini
juga dapat bermanfaat sebagai bahan diskusi bersama untuk dijadikan sebagai
bahan pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik.
[1] Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012,
hlm. 435
[2]
Manna’
Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al
Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012, hlm. 435
[5] Kritik
terhadap kitab “Al Fannul Qasasiy fil Qur’an”,
oleh Ustadz Muhammad al Khidr Husain, dalam
Balagatul
Qur’an, hlm. 94
[6] Manna’
Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al
Qur’an, Surabaya: Pustaka Litera AntarNusa, 2012, hlm. 441
0 komentar:
Posting Komentar